Latar belakang timbulnya sewa beli pertama kali adalah untuk menampung
persoalan bagaimanakah caranya memberikan jalan keluar apabila pihak penjual
menghadapi banyaknya permintaan untuk membeli barangnya, tetapi calon pembeli
tidak mampu membayar harga barang secara tunai. Pihak penjual bersedia menerima
harga barang itu dicicil atau diangsur tetapi ia memerlukan jaminan bahwa
barangnya sebelum harga dibayar lunas tidak akan dijual lagi oleh si
pembeli.
Disamping itu yang menjadi latar belakang
lahirnya perjanjian sewa beli karena adanya azas kebebasan berkontrak yang
diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk :
1. Membuat
atau tidak membuat perjanjian.
2. Mengadakan
perjanjian dengan siapapun.
3. Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya.
4. Menentukan
bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Keberadaan azas kebebasan berkontrak
dalam pelaksanaan perjanjian sewa beli memberikan inspirasi bagi para pengusaha
untuk mengembangkan bisnis dengan cara sewa beli, karena dengan menggunakan
jual beli semata-mata maka barang dari pengusaha tidak akan laku, ini
disebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah dan tidak memiliki
banyak uang kontan.
Para Sarjana memiliki pandangan yang
berbeda mengenai pengertian perjanjian sewa beli, yang keseluruhannya dapat
disimpulkan menjadi 3 macam definisi, yaitu:
1. Definisi
pertama yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan jual beli angsuran.
2. Definisi
kedua yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan sewa menyewa.
3. Definisi
ketiga yang berpendapat bahwa sewa beli sama dengan jual beli.
Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34 / KP / II /
1980 tentang Perijinan Beli Sewa (hire purchase), Jual Beli dengan Angsuran dan
Sewa (renting), disebutkan pengertian sewa beli. Sewa Beli adalah :“Jual Beli
barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan
setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang
telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik
atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya
dibayar lunas oleh pembeli kepada
penjual.”
Definisi kedua, dapat diihat dari
pendapat Wirjono Prodjodikoro bahwa sewa beli adalah: “Pokoknya persetujuan
dinamakan sewa menyewa barang, dengan akibat bahwa si penerima tidak menjadi
pemilik, melainkan pemakai belaka. Baru kalau uang sewa telah dibayar,
berjumlah harga yang sama dengan harga pembelian, si penyewa beralih menjadi
pembeli, yaitu barangnya menjadi pemiliknya.”
Definisi ketiga berpendapat bahwa sewa
beli merupakan campuran antara jual beli dan sewa menyewa. Pandangan ini
dikemukakan oleh Soebekti: “Sewa beli adalah sebenarnya suatu macam
jual beli, setidak-tidaknya mendekati jual beli dari pada sewa menyewa,
meskipun ia merupakan campuran keduanya dan kontraknya diberi judul sewa
menyewa.”
Dengan demikian, dari definisi yang
dicantumkan oleh undang-undang dan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa
sewa beli sebagai gabungan antara sewa-menyewa dan jual beli. Apabila barang
yang dijadikan obyek sewa sesuai dengan kesepakatan, maka barang itu dapat
ditarik oleh si penjual sewa, akan tetapi apabila barang itu angsurannya telah
lunas, maka barang itu menjadi obyek jual beli. Oleh karena itu para pihak
dapat mengurus balik nama dari obyek sewa beli tersebut.
Pengaturan sewa beli di Indonesia belum
dituangkan dalam undang-undang, yang menajdi landasan hukum perjanjian sewa
beli adalah Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34 / KP / II /
1980 tentang Perizinan Sewa Beli (Hire Purchase, jual beli dengan angsuran dan
sewa (renting)).
Menurut SK Menteri Perdagangan dan
Koperasi Nomor 34 / KP / II / 1980, pasal 1 a sewa beli adalah jual beli
barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan
setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga
barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian
serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli
setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.
Subyek dalam perjanjian sewa beli ini
adalah kreditur (penjual sewa) dan Debitur (Pembeli Sewa). Yang dapat bertindak
sebagai penjual sewa beli adalah perusahaan yang menghasilkan barang sendiri
atau usaha yang khusus bergerak dalam perjanjian sewa beli sedangkan debitur
adalah orang yang membeli barang dalam system sewa beli.
Obyek dalam perjanjian sewa beli itu
sendiri adalah kendaraan bermotor, radio, TV, tape recorder, mesin jahit,
lemari es, AC, mesin cuci dan lain-lain.
Di dalam praktek bentuk perjanjian sewa
beli ini dibuat dalam bentuk tertulis dan dibawah tangan, artinya perjanjian
itu hanya ditandatangani oleh para pihak yang mengadakan perjanjian sewa beli
ini, yang mana dibuat secara sepihak oleh penjual sewa, juga penentuan segala
isi perjanjian tersebut adalah penjual sewa sedangkan pembeli sewa hanya
diminta untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Biasanya pihak pembeli sewa tidak
memiliki keberanian untuk mengubah isi dan persyaratan yang ditentukan oleh
pembeli sewa karena posisi mereka berada pada pihak yang lemah dari aspek
ekonomi. Mereka tidak memiliki uang kontan untuk membayarnya. Isi dan persyaratan
perjanjian baru dipersoalkan oleh pembeli sewa pada saat ia tidak mampu
membayar angsuran, bunga dan denda.
Kapan terjadinya perjanjian sewa beli ini
tidak ditentukan dengan tegas. Namun apabila melihat dari pasal 1320 KUH
Perdata, saat terjadinya perjanjian sewa beli ini adalah pada saat terjadinya
persamaan kehendak antara penjual sewa dan pembeli sewa. Dari sisi perjanjian
formal terjadinya perjanjian sewa beli adalah pada saat ditandatanganinya
perjanjian sewa beli oleh para pihak.
Sejak terjadinya perjanjian tersebut maka
timbulah hak dan kewajiban dari para pihak, hak penjual sewa adalah menerima
uang pokok beserta angsuran setiap bulannya dari pembeli sewa sedangkan
kewajiban penjual sewa adalah menyerahkan obyek sewa beli tersebut dan mengurus
surat-surat yang berkaitan dengan obyek sewa tersebut. Hak pembeli sewa adalah
menerima barang yang disewabelikan setelah pelunasan terakhir sedangkan
kewajiban pembeli sewa adalah membayar uang pokok, uang angsuran setiap
bulannya dan merawat barang yang disewabelikan tersebut. Berakhirnya
perjanjian sewa beli ini adalah:
1. Pembayaran
terakhir telah lunas.
2. Meninggalnya
pembeli sewa namun tidak ada ahli waris yang melanjutkan.
3. Pembeli
sewa jatuh pailit, serta saat kendaraan ditarik.
4. Dilakukan
perampasan oleh pihak penjual sewa terhadap pihak lain, hal ini terjadi karena
pembeli sewa telah mengalihkan obyek sewa beli kepada pihak lain.
5. Pihak
kedua wanprestasi.
6. Adanya
putusan pengadilan
Definisi kedua, dapat diihat dari pendapat Wirjono Prodjodikoro bahwa sewa beli adalah: “Pokoknya persetujuan dinamakan sewa menyewa barang, dengan akibat bahwa si penerima tidak menjadi pemilik, melainkan pemakai belaka. Baru kalau uang sewa telah dibayar, berjumlah harga yang sama dengan harga pembelian, si penyewa beralih menjadi pembeli, yaitu barangnya menjadi pemiliknya.”
Definisi ketiga berpendapat bahwa sewa beli merupakan campuran antara jual beli dan sewa menyewa. Pandangan ini dikemukakan oleh Soebekti: “Sewa beli adalah sebenarnya suatu macam jual beli, setidak-tidaknya mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun ia merupakan campuran keduanya dan kontraknya diberi judul sewa menyewa.”
Dengan demikian, dari definisi yang dicantumkan oleh undang-undang dan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa sewa beli sebagai gabungan antara sewa-menyewa dan jual beli. Apabila barang yang dijadikan obyek sewa sesuai dengan kesepakatan, maka barang itu dapat ditarik oleh si penjual sewa, akan tetapi apabila barang itu angsurannya telah lunas, maka barang itu menjadi obyek jual beli. Oleh karena itu para pihak dapat mengurus balik nama dari obyek sewa beli tersebut.
Pengaturan sewa beli di Indonesia belum dituangkan dalam undang-undang, yang menajdi landasan hukum perjanjian sewa beli adalah Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34 / KP / II / 1980 tentang Perizinan Sewa Beli (Hire Purchase, jual beli dengan angsuran dan sewa (renting)).
Menurut SK Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34 / KP / II / 1980, pasal 1 a sewa beli adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.
Subyek dalam perjanjian sewa beli ini adalah kreditur (penjual sewa) dan Debitur (Pembeli Sewa). Yang dapat bertindak sebagai penjual sewa beli adalah perusahaan yang menghasilkan barang sendiri atau usaha yang khusus bergerak dalam perjanjian sewa beli sedangkan debitur adalah orang yang membeli barang dalam system sewa beli.
Obyek dalam perjanjian sewa beli itu sendiri adalah kendaraan bermotor, radio, TV, tape recorder, mesin jahit, lemari es, AC, mesin cuci dan lain-lain.
Di dalam praktek bentuk perjanjian sewa beli ini dibuat dalam bentuk tertulis dan dibawah tangan, artinya perjanjian itu hanya ditandatangani oleh para pihak yang mengadakan perjanjian sewa beli ini, yang mana dibuat secara sepihak oleh penjual sewa, juga penentuan segala isi perjanjian tersebut adalah penjual sewa sedangkan pembeli sewa hanya diminta untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Biasanya pihak pembeli sewa tidak memiliki keberanian untuk mengubah isi dan persyaratan yang ditentukan oleh pembeli sewa karena posisi mereka berada pada pihak yang lemah dari aspek ekonomi. Mereka tidak memiliki uang kontan untuk membayarnya. Isi dan persyaratan perjanjian baru dipersoalkan oleh pembeli sewa pada saat ia tidak mampu membayar angsuran, bunga dan denda.
Kapan terjadinya perjanjian sewa beli ini tidak ditentukan dengan tegas. Namun apabila melihat dari pasal 1320 KUH Perdata, saat terjadinya perjanjian sewa beli ini adalah pada saat terjadinya persamaan kehendak antara penjual sewa dan pembeli sewa. Dari sisi perjanjian formal terjadinya perjanjian sewa beli adalah pada saat ditandatanganinya perjanjian sewa beli oleh para pihak.
Sejak terjadinya perjanjian tersebut maka timbulah hak dan kewajiban dari para pihak, hak penjual sewa adalah menerima uang pokok beserta angsuran setiap bulannya dari pembeli sewa sedangkan kewajiban penjual sewa adalah menyerahkan obyek sewa beli tersebut dan mengurus surat-surat yang berkaitan dengan obyek sewa tersebut. Hak pembeli sewa adalah menerima barang yang disewabelikan setelah pelunasan terakhir sedangkan kewajiban pembeli sewa adalah membayar uang pokok, uang angsuran setiap bulannya dan merawat barang yang disewabelikan tersebut. Berakhirnya perjanjian sewa beli ini adalah:
1. Pembayaran terakhir telah lunas.
2. Meninggalnya pembeli sewa namun tidak ada ahli waris yang melanjutkan.
3. Pembeli sewa jatuh pailit, serta saat kendaraan ditarik.
4. Dilakukan perampasan oleh pihak penjual sewa terhadap pihak lain, hal ini terjadi karena pembeli sewa telah mengalihkan obyek sewa beli kepada pihak lain.
5. Pihak kedua wanprestasi.
6. Adanya putusan pengadilan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar