Senin, 15 Desember 2014

Teori Struktur Fungsi, Teori Konflik, dan Teori Pertukaran Sosial

TEORI STRUKTUR FUNGSI

        Para ahli sosiologi abad  XIX seperti Auguste Comte (1798 – 1857) dan Hebert Spencer (1820 – 1903) terkesan oleh persamaan yang mereka amati di antara organisme biologi dengan kehidupan sosial. Spencer pada khususnya tergerak untuk menyatakan bahwa “masyarakat itu laksana  suatu organisme” (Turner, 1974: 16). Inti perspektif ini ialah faham mengenai suatu system – suatu kompleks unsur atau komponen yang saling berhubungan secara sedikit banyak seimbang dalam suatu jangka waktu tertentu.
        Institusi-institusi dipandang oleh para ahli sosiologi sebagai analog dengan organ. Struktur-struktur sosial ini memenuhi kebutuhan utama yang perlu untuk kelanjutan hidup dan pemeliharaan masyarakat. Sesungguhnya, para ahli sosiologi biasanya mengklasifikasi institusi menurut fungsi utama yang dijalankannya: institusi perekonomian difokuskan pada produksi dan distribusi barang dan jasa; institusi keluarga: pembiakan, sosialisasi, pemeliharaan, dan penempatan anak pada posisi tertentu: institusi politik: perlindungan warga Negara terhadap warga lain dan terhadap musuh asing; institusi agama: peningkatan solidaritas dan konsensus nasional; dan institusi pendidikan: penyampaian warisan budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
        Oleh karena para ahli sosiologi dari aliran pemikiran ini memfokuskan perhatian utama mereka pada struktur-struktur serta fungsi-fungsinya, maka suut pandangan tersebut dinamakan teori struktur fungsi. Teori ini sangat terkenal pada dasawarsa 1940-an, 1950-an, awal 1960-an, dan dikaitkan dengan para ahli sosiologi seperti Talcott Parsons (1937; 1951; 1966; 1971), Kingsley Davis (1949), dan Robert K. Merton (1968).


TEORI KONFLIK
       Dalam kehidupan sosial terdapat beberapa hal yang ditetapkan sebagai “barang” (good) yang langka dan dapat dibagi-bagikan, sehingga semakin banyak suatu pihak memperoleh barang tersebut, semakin sedikit barang itu tersedia bagi orang lain. Kekayaan, kekuasaan, status, dan kekuasaan atas wilayah merupakan contoh mengenai hal ini. Manusia secara khas berusaha untuk lebih banyak memperoleh apa yang mereka tetapkan sebagai sesuatu yang berharga atau dikehendaki. Di mana dua kelompok manusia menganggap diri mereka mempunyai hak khusus dan sah atas hal-hal tertentu yang menyenangkan sehingga masing-masing hanya dapat mencapai apa yang ditetapkan
Sebagai hasil yang sah dengan cara merugikan orang lain, maka biasanya terjadi konflik.
Konflik berarti suatu pertentangan mengenai nilai atau tuntutan hak atas kekayaan, kekuasaan, status, atau wilayah tempat pihak yang saling berhadapan bertujuan untuk menetralkan, merugikan, atau pun menyisihkan lawan mereka.
       Mungkin pengungkapan yang diajukan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels di dalam Communist Manifesto (1848) merupakan pengungkapan yang paling terkenal mengenai suatu pendekatan konflik. Dalam bahasa yang bernada keras dan jelas mereka menyatakan bahwa cirri utama kehidupan sosial ialah perjuangan kelas. Menurut  Marx dan Engels, kelas yang berkuasa dalam suatu masyarakat memperoleh posisinya atas dasar pemilikan dan pengendalian alat produksi (sumber penting bagi manusia untuk memperoleh nafkah mereka). Melalui mengendalikan alat produksi, kelas yang berkuasa berusaha menempatkan dirinya di antara orang lain dan sarana yang digunakan orang lain untuk memenuhi keperluan biologis dan sosialnya. Melalui  cara ini    masyarakat  peka dan mudah terpengaruh oleh keinginan dan perintahnya. Kelas berkuasa ini menguasai seluruh kehidupan moral dan intelektual suatu masyarakat sambil menjadikan pemerintah, hukum, militer, ilmu pengetahuan, agama dan pendidikan sebagai alat untuk menanamkan keuasaan serta hak istimewanya.


TEORI PERTUKARAN SOSIAL

Sebagian besar rasa kepuasan kita bersumber pada tindakan manusia lain. Kepuasan di dalam cinta, rangsangan intelektual, persahabatan, kebutuhan ekonomi, kesadaran mengenai pertumbuhan perlindungan terhadap penjahat – semuanya ini dan banyak tujuan lain dalam hidup manusia- hanya dapat dicapai dengan menggerakan orang lain agar berprilaku tertentu terhadap kita. Anggapan ini merupakan dasar teori pertukaran sosial . Teori ini berpandangan bahwa manusia mengatur hubungan dengan orang lain dengan cara semacam membuat pembukuan mental yang mencatat imbalan, biaya, dan laba.

Menurut teori ini, orang memasuki dan meneruskan pola interaksi dengan orang lain tertentu oleh karena mereka menganggap interaksi itu menguntungkan, apa pun yang menjadi alasanya. Tetapi dalam proses mencari imbalan, orang pasti memikul biaya. Biaya menunjuk pada pertimbangan negative (kewajiban, kelelahan, kebosanan, kecemasan, keprihatinan, dan seterusnya) atau pada unsur positif yang dikorbankan  dengan jalan tetap meneruskan hubungan. Keuntungan yang diperoleh dari pertukaran sosial menggambarkan perbedaan antara imbalan dengan biaya. Beberapa ahli sosiologi melihat tukar-menukar sosial sebagai suatu teori pilihan rasional  oleh karena individu nampak hanya meneruskan suatu hubungan sepanjang mereka menetapkannya sebagai hal yang lebih membawa imbalan daripada biaya..

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIS

Suatu premis dasar sosiologi ialah bahwa manusia merupakan makhluk social; kita tidak dapat menjadi manusia secara tersendiri. Hal itu terjadi karena adanya komunikasi yaitu melalui suatu simbol. Simbol merupakan tindakan atau objek yang secara social telah dianggap mewakili sesuatu yang lain.
Herbert Mead mengemukakan bahwa manusia mengembangkan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain melalui penggunaan symbol yang dimiliki bersama. Melalui smbol itu, manusia memberikan makna   pada kegiatan mereka; mereka menjelaskan situasi dan menafsirkan perilaku. Orang membentuk perspektif melalui suatu proses  sosial yang di dalamnya mereka saling menjelaskan sesuatu. Di pihak lain, mereka saling bertindak dan mengubah tindakan mereka melalui makna yang mempunyai asal-usul sosial.

Menurut Mead, simbol khususnya bahasa, tidak hanya memungkinkan manusia manusia untuk saling berkomunikasi, tetapi symbol merupakan alat untuk berpikir. Kita melaksanakan suatu percakapan interen dengan diri kita sendiri. Kita bercakap-cakap dan menjwab diri kita sendiri dengan cara yang kira-kira sama dengan cara kita bercakap-cakap dengan orang lain. Kita misalnya bertanya pada diri kita sendiri : “ Jika saya akan memperoleh tanggapan tertentu dari orang lain, maka apa yang harus saya lakukan agar berhasil ?Kita menyapa diri kita sendiri dan menanggapi tegur sapa tersebut. Melalui cara ini kita mencocokkan tindakan kita dengan tindakan orang lain, merencanakan, menguji, menunda, dan mengubah perilaku kita sebagai tanggapan terhadap perilaku mereka.  
(Kamanto Sunarto.1985.Pengantar Sosiologi.Yayasan Obor Mas : Jakarta)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar