BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada bulan Juni 2011 masyarakat dikejutkan dengan beredarnya video mesum
yang mirip dengan Nazriel Irham (Ariel), Luna Maya dan Cut tari. Hal ini tentu
saja sangat meresahkan masyarakat, mengingat kecanggihan alat elektronik yang
dengan mudah dapat mentransfer file file tersebut ke perangakat lain. Sehingga
bisa dipastikan berapa juta file yang sudah beredar di masyarakat yang
penasaran dan ingin memiliki video asusila itu. Berbagai hujatan diberikan ke
pelaku video mesum tersebut, dorongan publik untuk segera meneruskan ke jalur
hukum bahkan presiden SBY pun ikut menanggapi berita tersebut dan meminta
aparat penegak hukum untuk segera memprosesnya. Hal ini terkait pencitraan para
pelaku yang notabene sebagi artis yang dituntut untuk berperilaku susila dan
bisa memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Inilah letak tanggung jawab
artis terlebih tanggung jawab moral, hal itu telah menjadi konsekuensi semenjak
berpredikat artis. Terlebih Indonesia adalah negara timur yang sarat akan nilai
etika, moral dan sopan santun, yang masih menempatkan ukuran tabu menjadi
prioritas suatu perilaku akan mendapatkan sorotan tajam masyrakat dengan sanksi
moral yaitu dikucilkan. Seperti halnya pelaku asusila
Dalam pengakuannya Ariel mengatakan bahwa ia merasa kecolongan atas file
pribadi yang diperuntukkan untuk dikonsumsi pribadi. Namun, hukum pun harus
berjalan. Desakan publik yang menganggap imbas yang dahsyat atas merebaknya
video tersebut. Hingga akhirnya menyeret ariel ke meja hijau, Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan hukuman 3,5 tahun penjara kepada
Ariel dalam kasus video asusila. Sedangkan untuk penggugah Video itu sendiri
yaitu Reza Rizaldy alias Rejoy divonis dua tahun penjara dan denda Rp 250
juta subsider tiga bulan penjara.
Banding Ariel ditolak. Bandung, CyberNews. Vonis 3 tahun 6 bulan
penjara berikut denda Rp 250 juta subsider tiga bulan yang dijatuhkan
kepada Nazriel Irham tidak berubah. Hal ini menyusul penolakan
Pengadilan Tinggi (PT) Bandung atas upaya banding yang dilakukan Ariel itu.
Dalam putusannya, PT Bandung menguatkan
putusan PN Bandung atas kasus peredaran video asusila yang juga menyeret artis
Luna Maya dan Cut Tari. Putusan atas banding terdakwa Ariel itu dijatuhkan pada
Selasa (19/4) lalu.
Majelis hakim yang terdiri dari Sjam Amansjah (ketua), Robbah, dan Widodo
menilai pertimbangan majelis hakim PN Bandung dalam memutus kasus tersebut
dapat dipahami. "Pertimbangan majelis hakim tingkat pertama itu sudah
dianggap tepat dan benar, sehingga dikuatkan majelis hakim PT Bandung,"
tandas hakim ketua Sjam Amansjah di kantornya, Senin (25/4). Selain itu,
majelis juga mempertimbangkan pendapat dari kalangan masyarakat atas kasus yang
menarik perhatian di pertengahan 2010 itu. "Itu perbuatan yang dilarang
sesuai undang-undang. Kita mempertimbangkan pula perbuatan itu dengan
memperhatikan pandangan-pandangan masyarakat," jelasnya. Meski telah dijatuhkan, Ariel yang merilis
single "Dara" sehari sebelum putusan PT Bandung masih mempunyai
kesempatan menempuh upaya hukum atas vonis yang diterimanya. Kesempatan yang
sama berlaku pula bagi jaksa penuntut umum. "Apabila kedua belah pihak itu
merasa putusan PT Bandung tidak tepat, dipersilahkan bagi mereka melakukan
upaya hukum lewat kasasi ke Mahkamah Agung," tutur hakim asal Semarang
itu. Dalam kesempatan tersebut,
Sjam juga menjelaskan bahwa majelis hakim menambah hukuman atas terdakwa Redjoy
alias Reza Rizaldy dalam kasus yang sama. Sebelumnya, Redjoy yang berkiprah sebagai editor musik Ariel itu divonis
PN Bandung 2 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan. Untuk
terdakwa Reza Rizaldy, mengenai lamanya pidana diperbaiki, ditambah 6 bulan
sehingga menjadi 2 tahun 6 bulan. Kalau (video) perbuatan itu tidak diedarkan,
tidak sampai ke semua orang. Reza-lah yang mengedarkan ke Anggit dan seterusnya
hingga masuk ke internet.
Perbedaan vonis tersebut menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih jauh
lewat sebuah pemikiran konstruktivisme keterkaitan antara pelaku
asusila (ariel) dengan sanksi yang dirasa adil untuk
diterapkan kepada pelaku. Sehingga penulis akan membahas vonis Ariel
dilihat dari paradigma kontrustivisme.
B.
Rumusan
Masalah
1. Pengertian paradigma konstruktivisme
2. Bagaimana kasus video mesum Ariel dilihat dari paradigma
kontruktivisme?
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
paradigma konstruktivisme
Paradigma konstruksionis memandang realitas
kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil
konstruksi. Karena itu,
konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana
peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu
dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali
disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan
dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. Paradigma Konstruktivisme menolak
pandangan positivisme yang memisahlkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam
pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk
memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai
pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai
faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial. Adabeberapa teori yang terdapat
dalam lingkup paradigma Kontruktivisme ini, diantaranya yaitu Teori Kegunaan
dan Kepuasan dan Teori Interaksionisme Simbolik.
Pergeseran paradigma pembelajaran yang sebelumnya
lebih menitik beratkan pada peran guru, fasilitator, instruktur yang demikian
besar, dalam perjalanannya semakin bergeser pada pemberdayaan peserta didik
atau siswa dalam mengambil inisiatif dan partisipasi di dalam kegiatan belajar. Dalam kajian filsafat,
berkembangnya konstruktivisme tidak terlepas dan perubahan pandangan yang
menempatkan pengetahuan sebagai representasi (gambaran atau ungkapan) kenyataan
dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Pandangan yang menganggap
bahwa pengetahuan merupakan kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini perkembangan
pesat pemikiran, terlebih dalam bidang sains yang menempatkan bahwa pengetahuan
tidak terlepas dari subjek yang sedang belajar mengerti (Supamo,
1997:18).
Dalam proses perkembangannya pemikiran-pemikiran
baru semakin mendapat tempat yang luas, bahwa pengetahuan lebih dianggap
sebagai suatu proses pembentukan (konstruksi) yang terus menerus berkembang dan
berubah.
Konstruktivisme merupakan respons terhadap
berkembangnya harapan-harapan baru berkaitan dengan proses pembelajaran yang
menginginkan peran aktif siswa dalam merekayasa dan memprakarsai kegiatan
belajarnya sendiri. Konsruktivisme merupakan suatu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri
(Von Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Von Glasefeld
mengemukakan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas).
Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan
seseorang. Melalui proses belajar yang dilakukan, seseorang membentuk skema,
kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk suatu
pengetahuan tertentu. Oleh karena itu, pengetahuan bukanlah tentang dunia yang
lepas dari pengamat, akan tetapi merupakan hasil konstruksi pengalaman manusia
sejauh yang dialaminya. Menurut Piaget (1971), pembentukan ini tidak pernah
mencapai titik akhir, akan tetapi terus menerus berkembang setiap kali
mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. Dalam
mencermati realitas kehidupan sehari-hari, para konstruktivis mempercayai bahwa
pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang berusaha mengetahui. Siswa
sendirilah yang mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan
terhadap pengalaman mereka (Lorsbach & Tobin, 1992).
2. Kasus
video mesum Ariel dilihat dari paradigma konstruktivisme
Menurut saya, keadilan yang diciptakan dari seseorang penegak
hukum akan sangat berbeda satu sama lainnya karena secara bersama-sama
melandaskan pada suatu paradigma yang mereka yakini. Hal ini dikaitkan dengan
paradigma yang dipakai sebagai pegangan si penegak hukum dalam melihat kasus
tersebut kemudian menganalisia sesuai paradigma yang berfungsi sebagai kaca
mata untuk menafsirkannya. Dengan demikian, jelas bahwa ukuran keadilan itu
relatif antara setiap individu.
Kita menyadari bahwa hukum dibuat untuk menegakkan keadilan kepada
masyarakat, dan mengatur perilaku masyarakat. Tujuan akhir hukum adalah
keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus
diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling cocok dan sesuai
dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum
adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang
bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat
normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya
menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain, adil
merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang hukum.
Menurut saya, keadilan berdasarkan konstruktivisme
berati adalah realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak
dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum
positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber,
menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam,
karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam
realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun
pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri.
Paradigma konstruktivisme adalah dapat ditelusuri dari pemikiran Weber
yang menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan
prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi
realias sosial. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau
memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Weber melihat bahwa individu
yang memberikan pengaruh pada masyarakat tetapi dengan beberapa catatan, bahwa
tindakan sosial individu berhubungan dengan rasionalitas. Tindakan sosial yang
dimaksudkan oleh Weber berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada
orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin”, atau bersifat
subjektif yang mengklaim terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu.Implikasi
dalam paradigma konstruktivisme menerangkan bahwapengetahuan itu tidak lepas
dari subjek yang sedang mencoba belajar untuk mengerti. Hakim yang
menggunakan paradigma konstruktivisme yang mendasarkan pada realitas majemuk
dan beragam, berdasarkan pengalaman sosial individual, lokal dan spesifik ,
merupakan kontruksi mental / intelektualitas manusia bentuk dan isi berpulang
pada pemegang, dapat berubah menjadi lebih informed.
Menurut analisa saya, dalam memutus kasus tersebut unsur subjektivitas
hakim sangat tinggi, hakim tidak hanya mendasarkan pada hukum
normatif tapi berusaha menggali nilai-nilai di masyarakat . Hakim mencoba
cara konstruksi yang dilakukan sebagai cara memahami atau
memberikan makna terhadap perilaku si terdakwa (Ariel) dihadapkan pada
suatu realitas sosial. Hal yang memberatkan terdakwa adalah bahwa Ariel
dinilai tidak menyesali perbuatannya bahkan ia masih belum memahami atas
kecerobannya tersebut telah menghebohkan masyarakat. Terlebih dorongan
publik untuk memberi efek jera kepada terdakwa mengingat imbas dari
kecerobohannya tersebut telah merusak moral anak bangsa. Hal ini terkait denagn
maraknya kasus pemerkosaan kepada anak-anak dibawah umur, bahkan dibeberapa
daerah ada anak dibawah umur yang memperkosa teman sebayanya, Ia mengaku
melakukan karena terdorong rasa penasaran setelah melihat video asusila milik
Ariel. Dampak negatif dari penyebaran video tersebut tentu saja meresahkan
masyarakat apalagi pelaku adalah para artis yang digandrungi remaja.
Kecenderungan mereka kemudian meniru perilaku idola, hal ini dikhawatirkan akan
merusak moral generasi penerus bangsa.
Peran etika dan budaya agaknya masih akan tetap melekat pada negara ini.
Adanya hukum dan nilai nilai sosial budaya. Antara hukum di satu pihak dengan
nilai nilai budaya di lain pihak terdapat kaitan erat. Kaitan yang erat antara
hukum dan nilai nilai masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik tak lain
adalah hukum yang mencerminkan nilai nilai yang hidup dimasyarakat. Sehingga
ukuran suatu perbuatan dianggap melanggar hukum atau tidak hal ini erat
kaitannya dengan nilai nilai yang ada di masyarakat.
Pertimbangan hakim yang menekankan kebersalahan terdakwa sebagai penyedia
pornografi (pembantu tindak pidana pornografi)merupakan salah satu hasil dari
interpretasi hakim yang tidak terbatas. Putusan Pengadilan atas kasus video
asusila tersebut merupakan bentukbahwa paradigma yang dipakai adalah
kontrustivisme karena menekankan pentingnya kepatutan masyarakat untuk
mencegah terjadinya kejahatan pornografi lagi. Karena secara normatif
perbuatan Ariel tidak memenuhi rumusan delik, sehingga hakim melakukan penemuan
hukum.
Padahal disisi lain, konstruksi Pasal 29 UU Pornografi lebih ditekankan
pada industry pornografi atau penyebarluasan pornografi bukan pada pembuatan
pornografi untuk diri sendiri. Hakim dalam menginterpretasikan Pasal 29 UU
Pornografi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP jelas memperluas siapa yang disebut sebagai
pembantu berdasarkan konsep medeplichtigheid pasif yang sebenarnya sudah lama
tidak dipergunakan lagi dalam ilmu hukum pidana karena bertentangan dengan
prinsip kepastian hukum (asas legalitas). Hal ini sangat sulit
dibuktikan karena memang perbedaan tindakan menyimpan dan menyediakan harus
dilihat dari ada atau tidaknya niat seseorang memfasilitasi atau memudahkan orang
lain mengakses, mengambil atau memindahkan file/video asusila tersebut untuk
disebarluaskan.
Untuk para penganut konstruktivisme maka ukuran adil tentu
sudah terpenuhi dengan menghukum ariel dengan pertimbangan bahwa akibat dari
kecerobohan tersebut berdampak merasahkan masyarakat sehingga dengan vonis
hakim 3,5 tahun Vonis 3 tahun 6 bulan penjara berikut denda Rp 250 juta
subsider tiga bulan tersebut diharapkan memberi efek jera kepada pelaku
dan juga sebagai kajian masyarakat agar tidak melakukan hal
serupa. Ariel terbukti sah dan meyakinkan memberi kesempatan orang
lain menyebarkan video dan pornografi. Tugas hakim adalah menerapkan peraturan
yang tertulis dalam undang-undang, tetapi dalam realitasnya fenomena sosisl
selalu berubah. Undang-undang tidak lagi akan mampu menyelesaikan kasus yang
dihadapinya. Sehingga salah satu cara yang digunakan hakim adalah menggali
makna yang ada dalam teks undang-undang (interpretasi) dengan tujuan memenuhi
rasa keadilan dan di sisi lain dapat mrmberikan kepastian hukum sesuai dengan
tujuan dibuatnya undang undang. Ensiklopedi Indonesia (1982: 1466)
memberikan pengertian interpretasi secara kebahasaaan sebagai
berikut:“Interpretasi berasal dari bahasa latin interpretatio =
penjelasan, keterangan. Tafsiran mengenai suatu pernyataan, uraian atau naskah;
mengemukakan arti luas atau lebih mendalam dari apa yang terlihat atau
diketahui sepintas lalu; mengungkapkan hal yang tersirat dari apa yang
tersurat. Interpretasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan bahwa kenyataan fisik
atau psikologis dengan model konsepsional yang mmeberi arti dan tempat bagi
kenyataan tersebut…”
Dalam hal ini tentu saja isi otak hakim sangat berpengaruh, dalam
menjatuhkan Vonis dengan sangat hati hati, dengan pertimbangan hati
nurani. Vonis itu merupakan hasil pemikiran
seorang konstruktivisme yang sangat cekatan. Interpretasi hakim yang
berparadigma konstruktivisme dilakukan secara tidak terbatas dan bebas konteks,
dengan berbagaipertimbangan, Hukum adalah sesuatu yang relatif tergantung pada
otak masing masing, dengan memposisikan diri “jika saya menjadi dia”, maka para
penganut kontruktivisme bisa memahami karena ia berusaha terjun langsung ke
posisi tersebut kemudian menarik kesimpulan mengapa terjadi demikian dan
solusi atau penyelesaian apa yang tepat. Dengan mengandakan metodologi
yang informasi yang secara situasional beliau paham betul tentang “kesalahan”
yang disalahkan kepada Ariel.
Hakim memutus dengan memperhatikan realitas di masyrakat, namun juga
melindungi Hak Asasi Manusia Ariel. Terlihat Majelis hakim memberi putusan
dengan pertimbangan yang cukup matang, yaitu tidak begitu saja mendengar saran
dari masyarakat untuk menghukum Ariel dengan seberat-beratnya, namun hakim juga
memperhatikan alasan kurang hati-hatinya Ariel dalam menyimpan file pribadinya
tersebut. Sehingga diharapkan ada keadilan untuk masyarakat yang merasa
dirugikan atas ulah Ariel dan juga keadilan untuk Ariel agar tidak mengulangi
kecerobohannya.
BAB III
KESIMPULAN
Ukuran
adil itu relative, ada beberapa orang mengatakan itu adil, ada jugayang
mengatakan itu tidak adil. Sebenanya ukuran adil itu tidak bisa dikatakan
dengan hukuman seberat-beratnya. Adil itu adalah yang sesuai sebab-akibat yang
di perbuat oleh pelaku. Hukum seharusnya dilakukan dengan seadil-adilnya tanpa
memandang bulu.
Para
penegak hukum perlu memperhatikan berbagai aspek dalam mewujudkan hukum untuk
masyrakat itu sender yang bersendikan keadilan. Terlebih hakim dalam memutus
perkara maka akan ditemukan kadar keadilan yang berbeda beda tergantung
paradigm yang dipakai. Seperti halnya hakim dalam memutus kasus video asusila
Ariel yang menggunakan paradigm kontruktivisme dengan memperhatikan realitas
dalam masyarakat, dengan melakukan interpretasi yang tidak terbatas. Sehingga
meskipun secara normatif Ariel tidak melanggar hukum karena ia membuat video
tersebut untuk dikonsumsi pribadi, sedangkan hakim tetap melihat bahwa
kecerobohan Ariel sampai filenya hilang tersebut merupakan sebuah tindak pidana
yang berdampak meluas pada masyarakat. Sehingga melalui interpretasinya
tersebut maka hakim menyimpulkan bahwa Ariel telah sadar membuat video asusila
yang merupakan tindakan pornografi, dan menyadari bahwa ada kemungkinan ia
tidak bisa menjaga file tersebut, seperti tindakan jahil orang
(pencurian). Adanya hukuman yang diberikan tersebut akan menimbulkan
masalah yang mengacu pada keadilan. Sudah adilkah hukuman yang diberikan,
khususnya hukuman yang diberikan sesuai dengan keputusan hakim dan dalam hukum
legal. Berdasarkan pemberian hukuman itu akan timbul pertanyaan, “Apakah
sesungguhnya tujuan memberi hukuman? Kecuali itu apakah hukuman tersebut sesuai
dengan nilai-nilai moral?” Mungkin ada yang berpendapat bahwa memberi hukuman
tersebut balas dendam, atau biar orang bersalah itu “kapok”, jera, sehingga
tidak melakukannya lagi. Atau mungkin pula sebagai contoh agar orang lain tidak
melakukan pelanggaran yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar