Jumat, 28 Februari 2014

makalah paradigma kontruktivisme

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Pada bulan Juni 2011 masyarakat dikejutkan dengan beredarnya video mesum yang mirip dengan Nazriel Irham (Ariel), Luna Maya dan Cut tari. Hal ini tentu saja sangat meresahkan masyarakat, mengingat kecanggihan alat elektronik yang dengan mudah dapat mentransfer file file tersebut ke perangakat lain. Sehingga bisa dipastikan berapa juta file yang sudah beredar di masyarakat yang penasaran dan ingin memiliki video asusila itu. Berbagai hujatan diberikan ke pelaku video mesum tersebut, dorongan publik untuk segera meneruskan ke jalur hukum bahkan presiden SBY pun ikut menanggapi berita tersebut dan meminta aparat penegak hukum untuk segera memprosesnya. Hal ini terkait pencitraan para pelaku yang notabene sebagi artis yang dituntut untuk berperilaku susila dan bisa memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Inilah letak tanggung jawab artis terlebih tanggung jawab moral, hal itu telah menjadi konsekuensi semenjak berpredikat artis. Terlebih Indonesia adalah negara timur yang sarat akan nilai etika, moral dan sopan santun, yang masih menempatkan ukuran tabu menjadi prioritas suatu perilaku akan mendapatkan sorotan tajam masyrakat dengan sanksi moral yaitu dikucilkan. Seperti halnya pelaku asusila
Dalam pengakuannya Ariel mengatakan bahwa ia merasa kecolongan atas file pribadi yang diperuntukkan untuk dikonsumsi pribadi. Namun, hukum pun harus berjalan. Desakan publik yang menganggap imbas yang dahsyat atas merebaknya video tersebut. Hingga akhirnya menyeret ariel ke meja hijau, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan hukuman 3,5 tahun penjara kepada Ariel dalam kasus video asusila. Sedangkan untuk penggugah Video itu sendiri yaitu Reza Rizaldy alias Rejoy divonis dua tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan penjara.
Banding Ariel ditolak. Bandung, CyberNews. Vonis 3 tahun 6 bulan penjara berikut denda Rp 250 juta subsider tiga bulan  yang dijatuhkan kepada Nazriel Irham tidak berubah. Hal ini menyusul penolakan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung atas upaya banding yang dilakukan Ariel itu. Dalam putusannya, PT Bandung menguatkan putusan PN Bandung atas kasus peredaran video asusila yang juga menyeret artis Luna Maya dan Cut Tari. Putusan atas banding terdakwa Ariel itu dijatuhkan pada Selasa (19/4) lalu.
Majelis hakim yang terdiri dari Sjam Amansjah (ketua), Robbah, dan Widodo menilai pertimbangan majelis hakim PN Bandung dalam memutus kasus tersebut dapat dipahami. "Pertimbangan majelis hakim tingkat pertama itu sudah dianggap tepat dan benar, sehingga dikuatkan majelis hakim PT Bandung," tandas hakim ketua Sjam Amansjah di kantornya, Senin (25/4). Selain itu, majelis juga mempertimbangkan pendapat dari kalangan masyarakat atas kasus yang menarik perhatian di pertengahan 2010 itu. "Itu perbuatan yang dilarang sesuai undang-undang. Kita mempertimbangkan pula perbuatan itu dengan memperhatikan pandangan-pandangan masyarakat," jelasnya. Meski telah dijatuhkan, Ariel yang merilis single "Dara" sehari sebelum putusan PT Bandung masih mempunyai kesempatan menempuh upaya hukum atas vonis yang diterimanya. Kesempatan yang sama berlaku pula bagi jaksa penuntut umum. "Apabila kedua belah pihak itu merasa putusan PT Bandung tidak tepat, dipersilahkan bagi mereka melakukan upaya hukum lewat kasasi ke Mahkamah Agung," tutur hakim asal Semarang itu. Dalam kesempatan tersebut, Sjam juga menjelaskan bahwa majelis hakim menambah hukuman atas terdakwa Redjoy alias Reza Rizaldy dalam kasus yang sama. Sebelumnya, Redjoy yang berkiprah sebagai editor musik Ariel itu divonis PN Bandung 2 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan. Untuk terdakwa Reza Rizaldy, mengenai lamanya pidana diperbaiki, ditambah 6 bulan sehingga menjadi 2 tahun 6 bulan. Kalau (video) perbuatan itu tidak diedarkan, tidak sampai ke semua orang. Reza-lah yang mengedarkan ke Anggit dan seterusnya hingga masuk ke internet.
Perbedaan vonis tersebut menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih jauh lewat sebuah pemikiran konstruktivisme keterkaitan antara pelaku asusila (ariel) dengan sanksi yang dirasa adil untuk diterapkan kepada pelaku. Sehingga penulis akan membahas vonis Ariel dilihat dari paradigma kontrustivisme.






B.         Rumusan Masalah

1.         Pengertian paradigma konstruktivisme
2.         Bagaimana kasus video mesum Ariel dilihat dari paradigma kontruktivisme?



















BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian paradigma konstruktivisme
Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karena itu, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. Paradigma Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahlkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial. Adabeberapa teori yang terdapat dalam lingkup paradigma Kontruktivisme ini, diantaranya yaitu Teori Kegunaan dan Kepuasan dan Teori Interaksionisme Simbolik.

Pergeseran paradigma pembelajaran yang sebelumnya lebih menitik beratkan pada peran guru, fasilitator, instruktur yang demikian besar, dalam perjalanannya semakin bergeser pada pemberdayaan peserta didik atau siswa dalam mengambil inisiatif dan partisipasi di dalam kegiatan belajar. Dalam kajian filsafat, berkembangnya konstruktivisme tidak terlepas dan perubahan pandangan yang menempatkan pengetahuan sebagai representasi (gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Pandangan yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini perkembangan pesat pemikiran, terlebih dalam bidang sains yang menempatkan bahwa pengetahuan tidak terlepas dari subjek yang sedang belajar mengerti (Supamo, 1997:18). 
Dalam proses perkembangannya pemikiran-pemikiran baru semakin mendapat tempat yang luas, bahwa pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan (konstruksi) yang terus menerus berkembang dan berubah. 
Konstruktivisme merupakan respons terhadap berkembangnya harapan-harapan baru berkaitan dengan proses pembelajaran yang menginginkan peran aktif siswa dalam merekayasa dan memprakarsai kegiatan belajarnya sendiri. Konsruktivisme merupakan suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Von Glasefeld mengemukakan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Melalui proses belajar yang dilakukan, seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk suatu pengetahuan tertentu. Oleh karena itu, pengetahuan bukanlah tentang dunia yang lepas dari pengamat, akan tetapi merupakan hasil konstruksi pengalaman manusia sejauh yang dialaminya. Menurut Piaget (1971), pembentukan ini tidak pernah mencapai titik akhir, akan tetapi terus menerus berkembang setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. Dalam mencermati realitas kehidupan sehari-hari, para konstruktivis mempercayai bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang berusaha mengetahui. Siswa sendirilah yang mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka (Lorsbach & Tobin, 1992).





2.      Kasus video mesum Ariel dilihat dari paradigma konstruktivisme
Menurut saya, keadilan yang diciptakan dari seseorang penegak hukum akan sangat berbeda satu sama lainnya karena secara bersama-sama melandaskan pada suatu paradigma yang mereka yakini. Hal ini dikaitkan dengan paradigma yang dipakai sebagai pegangan si penegak hukum dalam melihat kasus tersebut kemudian menganalisia sesuai paradigma yang berfungsi sebagai kaca mata untuk menafsirkannya. Dengan demikian, jelas bahwa ukuran keadilan itu relatif antara setiap individu.
Kita menyadari bahwa hukum dibuat untuk menegakkan keadilan kepada masyarakat, dan mengatur perilaku masyarakat. Tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang hukum.
Menurut saya, keadilan berdasarkan konstruktivisme berati adalah realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri.
Paradigma konstruktivisme adalah dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi realias sosial. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Weber melihat bahwa individu yang memberikan pengaruh pada masyarakat tetapi dengan beberapa catatan, bahwa tindakan sosial individu berhubungan dengan rasionalitas. Tindakan sosial yang dimaksudkan oleh Weber berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin”, atau bersifat subjektif yang mengklaim terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu.Implikasi dalam paradigma konstruktivisme menerangkan bahwapengetahuan itu tidak lepas dari subjek yang sedang mencoba belajar untuk mengerti. Hakim yang menggunakan paradigma konstruktivisme yang mendasarkan pada realitas majemuk dan beragam, berdasarkan pengalaman sosial individual, lokal dan spesifik , merupakan kontruksi mental / intelektualitas manusia bentuk dan isi berpulang pada pemegang, dapat berubah menjadi lebih informed.
Menurut analisa saya, dalam memutus kasus tersebut unsur subjektivitas hakim sangat tinggi, hakim  tidak hanya mendasarkan pada hukum normatif tapi berusaha menggali nilai-nilai di masyarakat . Hakim mencoba cara konstruksi yang dilakukan sebagai cara memahami atau memberikan makna terhadap perilaku si terdakwa (Ariel) dihadapkan pada suatu realitas sosial. Hal yang memberatkan terdakwa adalah bahwa Ariel dinilai tidak menyesali perbuatannya bahkan ia masih belum memahami atas kecerobannya tersebut telah menghebohkan masyarakat. Terlebih dorongan publik untuk memberi efek jera kepada terdakwa mengingat imbas dari kecerobohannya tersebut telah merusak moral anak bangsa. Hal ini terkait denagn maraknya kasus pemerkosaan kepada anak-anak dibawah umur, bahkan dibeberapa daerah ada anak dibawah umur yang memperkosa teman sebayanya, Ia mengaku melakukan karena terdorong rasa penasaran setelah melihat video asusila milik Ariel. Dampak negatif dari penyebaran video tersebut tentu saja meresahkan masyarakat apalagi pelaku adalah para artis yang digandrungi remaja. Kecenderungan mereka kemudian meniru perilaku idola, hal ini dikhawatirkan akan merusak moral generasi penerus bangsa.
Peran etika dan budaya agaknya masih akan tetap melekat pada negara ini. Adanya hukum dan nilai nilai sosial budaya. Antara hukum di satu pihak dengan nilai nilai budaya di lain pihak terdapat kaitan erat. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai nilai masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik tak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai nilai yang hidup dimasyarakat. Sehingga ukuran suatu perbuatan dianggap melanggar hukum atau tidak hal ini erat kaitannya dengan nilai nilai yang ada di masyarakat.
Pertimbangan hakim yang menekankan kebersalahan terdakwa sebagai penyedia pornografi (pembantu tindak pidana pornografi)merupakan salah satu hasil dari interpretasi hakim yang tidak terbatas. Putusan Pengadilan atas kasus video asusila tersebut merupakan bentukbahwa paradigma yang dipakai adalah kontrustivisme karena menekankan pentingnya kepatutan masyarakat untuk mencegah terjadinya kejahatan pornografi lagi. Karena secara normatif perbuatan Ariel tidak memenuhi rumusan delik, sehingga hakim melakukan penemuan hukum.
Padahal disisi lain, konstruksi Pasal 29 UU Pornografi lebih ditekankan pada industry pornografi atau penyebarluasan pornografi bukan pada pembuatan pornografi untuk diri sendiri. Hakim dalam menginterpretasikan Pasal 29 UU Pornografi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP jelas memperluas siapa yang disebut sebagai pembantu berdasarkan konsep medeplichtigheid pasif yang sebenarnya sudah lama tidak dipergunakan lagi dalam ilmu hukum pidana karena bertentangan dengan prinsip kepastian hukum (asas legalitas). Hal ini sangat sulit dibuktikan karena memang perbedaan tindakan menyimpan dan menyediakan harus dilihat dari ada atau tidaknya niat seseorang memfasilitasi atau memudahkan orang lain mengakses, mengambil atau memindahkan file/video asusila tersebut untuk disebarluaskan.
Untuk para penganut  konstruktivisme maka ukuran adil tentu sudah terpenuhi dengan menghukum ariel dengan pertimbangan bahwa akibat dari kecerobohan tersebut berdampak merasahkan masyarakat sehingga dengan vonis hakim 3,5 tahun Vonis 3 tahun 6 bulan penjara berikut denda Rp 250 juta subsider tiga bulan tersebut diharapkan memberi efek jera kepada pelaku dan juga sebagai kajian masyarakat agar tidak melakukan hal serupa. Ariel terbukti sah dan meyakinkan memberi kesempatan orang lain menyebarkan video dan pornografi. Tugas hakim adalah menerapkan peraturan yang tertulis dalam undang-undang, tetapi dalam realitasnya fenomena sosisl selalu berubah. Undang-undang tidak lagi akan mampu menyelesaikan kasus yang dihadapinya. Sehingga salah satu cara yang digunakan hakim adalah menggali makna yang ada dalam teks undang-undang (interpretasi) dengan tujuan memenuhi rasa keadilan dan di sisi lain dapat mrmberikan kepastian hukum sesuai dengan tujuan dibuatnya undang undang. Ensiklopedi Indonesia (1982: 1466) memberikan pengertian interpretasi secara kebahasaaan sebagai berikut:“Interpretasi berasal dari bahasa latin interpretatio = penjelasan, keterangan. Tafsiran mengenai suatu pernyataan, uraian atau naskah; mengemukakan arti luas atau lebih mendalam dari apa yang terlihat atau diketahui sepintas lalu; mengungkapkan hal yang tersirat dari apa yang tersurat. Interpretasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan bahwa kenyataan fisik atau psikologis dengan model konsepsional yang mmeberi arti dan tempat bagi kenyataan tersebut…”
Dalam hal ini tentu saja isi otak hakim sangat berpengaruh, dalam menjatuhkan Vonis dengan sangat hati hati, dengan pertimbangan hati nurani. Vonis itu merupakan hasil pemikiran seorang konstruktivisme yang sangat cekatan. Interpretasi hakim yang berparadigma konstruktivisme dilakukan secara tidak terbatas dan bebas konteks, dengan berbagaipertimbangan, Hukum adalah sesuatu yang relatif tergantung pada otak masing masing, dengan memposisikan diri “jika saya menjadi dia”, maka para penganut kontruktivisme bisa memahami karena ia berusaha terjun langsung ke posisi tersebut kemudian menarik kesimpulan mengapa terjadi demikian dan solusi atau penyelesaian apa yang tepat. Dengan mengandakan metodologi yang informasi yang secara situasional beliau paham betul tentang “kesalahan” yang disalahkan kepada Ariel.
Hakim memutus dengan memperhatikan realitas di masyrakat, namun juga melindungi Hak Asasi Manusia Ariel. Terlihat Majelis hakim memberi putusan dengan pertimbangan yang cukup matang, yaitu tidak begitu saja mendengar saran dari masyarakat untuk menghukum Ariel dengan seberat-beratnya, namun hakim juga memperhatikan alasan kurang hati-hatinya Ariel dalam menyimpan file pribadinya tersebut. Sehingga diharapkan ada keadilan untuk masyarakat yang merasa dirugikan atas ulah Ariel dan juga keadilan untuk Ariel agar tidak mengulangi kecerobohannya.













BAB III
KESIMPULAN
            Ukuran adil itu relative, ada beberapa orang mengatakan itu adil, ada jugayang mengatakan itu tidak adil. Sebenanya ukuran adil itu tidak bisa dikatakan dengan hukuman seberat-beratnya. Adil itu adalah yang sesuai sebab-akibat yang di perbuat oleh pelaku. Hukum seharusnya dilakukan dengan seadil-adilnya tanpa memandang bulu.
            Para penegak hukum perlu memperhatikan berbagai aspek dalam mewujudkan hukum untuk masyrakat itu sender yang bersendikan keadilan. Terlebih hakim dalam memutus perkara maka akan ditemukan kadar keadilan yang berbeda beda tergantung paradigm yang dipakai. Seperti halnya hakim dalam memutus kasus video asusila Ariel yang menggunakan paradigm kontruktivisme dengan memperhatikan realitas dalam masyarakat, dengan melakukan interpretasi yang tidak terbatas. Sehingga meskipun secara normatif Ariel tidak melanggar hukum karena ia membuat video tersebut untuk dikonsumsi pribadi, sedangkan hakim tetap melihat bahwa kecerobohan Ariel sampai filenya hilang tersebut merupakan sebuah tindak pidana yang berdampak meluas pada masyarakat. Sehingga melalui interpretasinya tersebut maka hakim menyimpulkan bahwa Ariel telah sadar membuat video asusila yang merupakan tindakan pornografi, dan menyadari bahwa ada kemungkinan ia tidak bisa menjaga file tersebut, seperti tindakan jahil orang (pencurian). Adanya hukuman yang diberikan tersebut akan menimbulkan masalah yang mengacu pada keadilan. Sudah adilkah hukuman yang diberikan, khususnya hukuman yang diberikan sesuai dengan keputusan hakim dan dalam hukum legal. Berdasarkan pemberian hukuman itu akan timbul pertanyaan, “Apakah sesungguhnya tujuan memberi hukuman? Kecuali itu apakah hukuman tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral?” Mungkin ada yang berpendapat bahwa memberi hukuman tersebut balas dendam, atau biar orang bersalah itu “kapok”, jera, sehingga tidak melakukannya lagi. Atau mungkin pula sebagai contoh agar orang lain tidak melakukan pelanggaran yang sama.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar